Kondisi Nelayan di Tapanuli Tengah4 min read
Salah satu tim peneliti tim PRN Pendidikan Kependudukan-LIPI melakukan kegiatan penelitian di Tapanuli Tengah pada tanggal 16-28 Juni 2021. Pada kegiatan penelitian ini dilakukan survei lapangan, observasi dan wawancara. Tim ini melakukan koordinasi dengan Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Tapanuli Tengah, baik itu dalam penentuan lokasi survei. Adapun lokasi yang menjadi fokus penelitian antara lain Kecamatan Pandan (Kelurahan Hajoran, Kelurahan Hajoran Indah, Kelurahan Lubuk Tukko, Kelurahan Lubuk Tukko baru), Kecamatan Tapian Nauli (Desa Tapian Nauli 1), dan Kecamatan Sarudik (Kelurahan Pondok Batu).
Tapanuli Tengah merupakan Kabupaten yang terletak di pesisir barat Pulau Sumatra. Berdasarkan data dari DKP Tapteng, Produksi penangkapan ikan laut tahun 2020 sebesar 42.321 ton, produksi budidaya laut sebesar 1.210 ton dan produksi keramba jaring apung (KJA) sebesar 1.856 ton. Adapun jenis perahu penangkap ikan laut yang digunakan adalah perahu tanpa motor (110 unit), perahu motor tempel (1.472 unit) dan kapal motor (1.020) unit. Potensi kelautan dan perikanan di kabupaten ini terdapat perikanan tangkap dan budidaya, tidak hanya itu saja, kabupaten ini memiliki sejuta pesona dan pernah menjadi lokasi syuting film Kingkong pada tahun 2005 silam, tepatnya yang berlokasi di Pulau Mursala yang berada di wilayah Kecamatan Tapian Nauli. Dari Pandan menuju Pulau Mursala bisa menghabiskan waktu naik kapal sekitar 1-1,5 jam. Di perjalanan menuju Pulau Mursala tersebut ditemukan banyaknya bagan tancap. Bagan tancap ini merupakan alat penangkapan ikan yang menggunakan jaring dan lampu. Adapun jarak antara bagan yang satu dengan bagan yang lain sekitar 150 meter. Alat ini juga kemudian banyak digunakan oleh nelayan di beberapa desa/kelurahan di Tapanuli Tengah.

Salah satu lokasi penelitian yang menggunakan bagan tancap adalah Kelurahan Hajoran. Penduduk di Kelurahan ini sekitar 90 persen bekerja sebagai nelayan bagan tancap. Berdasarkan hasil wawancara kami dengan salah satu nelayan, biasanya nelayan akan berangkat ke bagan untuk mengambil ikan sekitar jam 5 sore. Bagan tancap ini kemudian diangkat selama 3 kali yaitu sekira jam 22.00 WIB, pukul 01.00 WIB dan pukul 05.00 WIB. kemudian akan dibawa ke tempat pengolahan untuk direbus dan kemudian dikeringkan.

Para tengkulak atau yang lebih sering disebut “Toke” akan datang mengambil ikan. Biasanya, para nelayan sudah mempunyai toke langganannya. Para nelayan akan meminjam uang ke toke untuk biaya operasional yang kemudian akan dibayar dengan hasil panen ikannya. Namun, ketika penelitian disana, kebetulan terjadi terang bulan yang membuat nelayan kesulitan menangkap ikan dan ikan cenderung tidak ada di bagan. Para nelayan banyak mengeluh diakibatkan jumlah yang didapatkan tidak sebanding dengan biaya operasional yang dikeluarkan.
Temuan di daerah Lubuk Tukko dan Lubuk Tukko baru yakni bahwa nelayan didaerah ini adalah nelayan tradisional dengan jaring. Adapun jenis perahu yang digunakan adalah perahu mesin tempel 1 PK atau sering disebut perahu kutuk-kutuk. Adapun cara penjualannya, masih tradisional dari pintu ke pintu saat hasil tangkapannya sedikit. Saat mendapatkan hasil laut tang banyak baru dijual ke kota terdekat seperti di Sibolga.
Hasil wawancara lainnya menyebutkan bahwa keberadaan pukat harimau yang semakin marak semakin mempersulit nelayan. Adanya pukat harimau ini kemudian membuat nelayan tradisional yang memiliki perahu kutuk-kutuk kesulitan untuk memperoleh ikan. Bahkan terkadang adanya pukat harimau ini membuat jaring para nelayan trasional menjadi rusak. Dalam hal ini, perlu adanya perhatian pemerintah derah maupun pusat dalam mengatasi keresahan para nelayan yang diakibatkan oleh adanya pukat harimau tersebut.
Temuan selanjutnya, para nelayan mempunyai keinginan agar anaknya tidak mengikuti jejak langkah orang tuanya pergi ke Laut. Hal ini mengingat berbagai kondisi dan permasalahan yang dirasakan ketika menjadi seorang nelayan. Adanya kondisi badai, petir dan permasalahan ketika menyelam yang mengakibatkan kelumpuhan bahkan terjadi kematian. Hal ini kemudian yang membuat para nelayan gencar untuk menyekolahkan anaknya hingga sarjana supaya anaknya bisa bekerja di darat saja .
Berdasarkan hasil wawancara dengan nelayan di daerah Desa Tapian Nauli 1, nelayan di daerah ini melakukan usahanya dengan budidaya KJA. Adapun jenis ikan di KJA ini seperti ikan Kerapu dan Kakap merah beserta pakannya. Menurut penuturan salah satu nelayan, beberapa tahun yang lalu terdapat bantuan kakap putih. Adapun bantuan yang didapatkan untuk 1 KJA hanya berkisar 100-300 ekor, sedangkan daya tampung untuk 1 KJA membutuhkan 700 ekor bibit ikan. Sehingga dibutuhkan bibit ikan, namun untuk memperoleh bibit ikan sangat sulit. Pengakuan dari salah satu nelayan, beberapa tahun yang lalu di daerah Aceh ada yang menjual bibit ikan, namun harganya 12.000/ekor, belum lagi untuk biaya akomodasi transportasi. Adapun kendala lainnya adalah pemasaran Kakap putih yang sangat sulit. Terkait permasalahan sulitnya bibit ikan, maka diperlukan adanya pelatihan dan pendampingan pembibitan ikan di daerah ini dan diharapkan pelatihannya diadakan secara berkelanjutan.
Yanti Astrelina Purba, Ngadi, Devi Asiati – Pusat Penelitian Kependudukan LIPI