Penduduk dan Kesehatan

Mempertahankan Perkawinan6 min read

June 7, 2023 4 min read

Mempertahankan Perkawinan6 min read

Reading Time: 4 minutes

Pandemi COVID-19 telah menguji banyak keluarga untuk melewati masa-masa sulit dalam menjaga keutuhan keluarga mereka. Bagaimana tidak, pandemi telah membuat sebagian besar keluarga harus merasakan dampak negatif secara sosial, ekonomi, dan kesehatan fisik dan mental.  Mulai dari terpuruknya ekonomi, menurunnya pendapatan, pemutusan hubungan kerja, menurunnya kesehatan fisik, hingga pada meninggalnya orang terkasih yang kesemuanya kemudian berimbas pada gangguan kesehatan mental. 

Riset di Jawa Barat menunjukkan, pada masa awal berlangsungnya pandemi Covid 19, diketahui bahwa emosi-emosi negatif yang muncul pada keluarga yakni kecemasan, kesedihan, kemarahan, dan ketakutan (Ramadhana, 2020). Emosi-emosi negatif yang muncul tentu akan membawa dampak negatif pula bagi keutuhan rumah tangga. Sebab, hal itu dapat memicu retaknya hubungan perkawinan sampai pada soal persoalan kesejahteraan anak. 

Persepsi negatif sebagai penyebab stress 

McCubbin dan Patterson dalam model Family Stress (McCubbin, Olson and Patterson, 1983) menyebutkan, stress terhadap krisis kehidupan yang dialami disebabkan oleh persepsi terhadap pemicu stress dan tergantung dari kepemilikan sumber daya untuk mengatasi stress tersebut. 

Misalnya, jika suatu pasangan memberi makna negatif atas suatu kondisi yang sedang dialaminya dan tidak memiliki sumber daya yang cukup untuk mengatasi masalah tersebut, maka pasangan ini dipastikan akan kesulitan beradaptasi dengan situasi sulit yang sedang dialaminya. Pasangan yang ikatan perkawinan sudah lemah sebelum melewati masa sulit tentu akan lebih rentan mengalami stress. 

Pemerintah yang menerapkan kebijakan untuk “di rumah saja” –baik untuk bekerja maupun bersekolah—selama masa pandemi COVID-19 dapat memiliki dua makna. Di satu sisi, kebijakan di rumah saja bisa dimaknai secara positif karena dapat menuntut pasangan pasangan untuk bekerja dari rumah sehingga bisa focus mengejar target kinerja, tidak kehilangan pekerjaan, dan menjaga keamanan finansial keluarga. Secara medis, kebijakan ini mendukung penerapan gaya hidup sehat dan menghindari keluarga terinfeksi COVID-19. 

Tetapi di saat bersamaan, kebijakan ini memaksa pasangan yang telah memiliki anak untuk bisa meluangkan waktu mendampingi anaknya, baik pada saat belajar maupun sekadar bermain, dengan tetap mengerjakan pekerjaan domestik yang rutin dalam rumah tangga.   Kebijakan di rumah saja juga melarang keluarga untuk berekreasi di luar rumah yang sejatinya merupakan hal penting bagi penyeimbang kesehatan mental. 

Ketika kondis-kondisi yang terbentuk akibat keijakan di rumah saja dimaknai secara negatif oleh pasangan keluarga hal ini sudah tentu akan memunculkan stress bagi pasangan tersebut. Terlebih jika kondisi stress berlangsung lama hingga menghabiskan sumber daya yang dimiliki pasangan tersebut. Tak ayal situasi yang tak mengenakkan itu kemudian akan memperlemah ikatan perkawinan. 

Pasangan yang sebelum masa pandemi telah memiliki ikatan perkawinan yang lemah tentu lebih beresiko ketika diterpa kondisi stress akibat pandemic. Misalnya, pasangan yang sebelumnya sudah berkonflik dalam rumah tangganya, mereka akan dihadapkan pada masalah tambahan berupa stress akibat situasi pandemic. 

Sumberdaya penghilang stres

Jika sebelumnya telah dijelaskan soal persepsi negatif yang menyebabkan munculnya kondisi stress pada pasangan, maka cara terbaik untuk mengantisipasi berlanjutnya stress tersebut adalah dengan memaksimalkan sumberdaya yang dimiliki pada tiap pasangan. Sumber daya tersebut bisa berasal dari individu, keluarga sebagai suatu unit kesatuan, maupun lingkungan sekitar keluarga (McCubbin, Olson and Patterson, 1983; Patterson, 2002). 

Sumber daya yang dimiliki individu misalnya seperti kecerdasan emosional dan daya tahan individu terhadap stres. Kemampuan ini tentu akan sangat dibutuhkan individu di saat menghadapi stress. Selain itu kemampuan ini akan memberikan dampak baik untuk menenangkan dan mengajak pasangan untuk mengatasi stress secara bersama-sama. 

Sedangkan sumberdaya yang dimiliki keluarga sebagai suatu unit kesatuan antara lain dengan melihat fungsi keluarga tersebut. Misalnya keluarga difungsikan sebagai tempat untuk saling mencurahkan isi hati, berbagi tanggung jawab, dan saling membantu sesama anggota keluarga. 

Sementara, sumber daya yang berasal dari lingkungan sekitar bisa berasal dari teman, tetangga dekat atau komunitas setempat yang saling membantu satu sama lain dalam menghadapi masalah. Misalnya, kerekatan social dalam menghadapi situasi pandemic yang diperlihatkan dengan cara mengirimkan makanan bagi tetangga yang sakit, mengantarkan tetangga yang sakit ke rumah sakit, dan lain-lain.

Pandemi dan strategi mempertahankan keluarga 

Sebuah model yang dinamakan Stress-Divorce dari Bondennman (Bodenmann, 1995, 1997; Randall and Bodenmann, 2009) menjelaskan bahwa kondisi yang merugikan akan mempengaruhi hubungan pasangan, menyebabkan kekecewaan pada ikatan perkawinan, dan akhirnya menyebabkan perceraian. Bondennman juga menyatakan, walaupun pemaknaan positif terhadap suatu kondisi dan sumber daya dari luar sangat dibutuhkan di masa sulit, tapi dukungan satu sama lain (sesama pasangan) adalah kunci bagi bertahnnya ikatan perkawinan (dyadic coping strategy) (Bodenmann, 1995).

Kemampuan bertahan sangat penting dalam memperkuat ikatan perkawinan. Ketahanan adalah kemampuan untuk tidak hanya beradaptasi dan berfungsi dalam kondisi sulit, tapi juga untuk dapat tumbuh lebih baik, bahkan melebihi kemampuan, sebelum datangnya masa sulit (Walsh, 1996). 

Jika kita mengamini perspektif ketahanan keluarga (Walsh, 1996) dan dyadic coping strategy (Bodenmann, 1995), terdapat dua hal yang dapat dilakukan agar bisa tetap bertahan dan memperkuat ikatan perkawinan dalam menghadapi masa sulit. 

Pertama, harus ada koordinasi dan pembagian tugas yang jelas pada pasangan dengan mengikuti prinsip-prinsip saling mendukung dan bekerjasama, fleksibel, kepemimpinan bersama dalam rumah tangga dalam setiap aktivitas. Hal ini dilakukan misalnya pada saat mengerjakan pekerjaan rumah tangga dan mengurus anak. Kesetaraan gender dalam pembagian tugas rumah tangga juga harus dikedepankan.

Kedua, harus ada proses komunikasi pada pasangan. Hal ini bertujuan untuk memperjelas situasi yang ambigu, yang mampu mengekspresikan emosi dirasakan dan menunjukkan respons empati. Hal ini juga bertujuan agar setiap permasalahan antar pasangan dapat diselesaikan sesegera mungkin sambil mengutamakan kerjasama antar pasangan. Komunikasi seperti ini bahkan dapat memberi kesempatan bagi pasangan untuk mendiskusikan masalah hubungan mereka yang sudah kurang baik sebelum masa sulit.

Dengan memanfaatkan waktu bersama sambil melakukan kedua hal di atas tentu akan menciptakan sebuah suasana yang akan membuka kesempatan bagi pasangan untuk tetap utuh,  termasuk bagi pasangan di saat sebelum masa sulit telah memiliki masalah, untuk memperkuat ikatan perkawinan mereka. Jika pasangan mampu bertahan dan mampu melewati masa sulit, seperti yang diakibatkan pandemic COVID19, sudah dapat dipastikan pasangan tersebut akan tumbuh lebih baik, tangguh, dan memiliki ikatan perkawinan yang lebih kuat []. 

Penulis:  Mardiana Dwi Puspitasari

Editor: Budiyanto Dwi Prasetyo 

*)Tulisan ini diadopsi dari artikel “Covid-19 and Marital Dissolution in West Java, Indonesia” dan dapat diakses secara bebas (free access) pada tautan:

https://journals.sagepub.com/doi/full/10.1177/10664807221124246.

Daftar Pustaka

  1. Bodenmann, G. (1995). A systemic-transactional conceptualization of stress and coping in couples. Swiss Journal of Psychology, 54(1), 34–49.
  2. Bodenmann, G. (1997). The influence of stress and coping on close relationships: A two-year longitudinal study. Swiss Journal of Psychology, 56(3), 156–164.
  3. McCubbin, H., Olson, D., & Patterson, J. (1983). Beyond family crisis: Family adaptation. International Journal of Mass Emergencies and Disasters, 1,73–93.
  4. Patterson, J. M. (2002). Integrating family resilience and family stress theory. Journal of Marriage and Family, 64(2), 349–360. https://doi.org/10.1111/j.1741-3737.2002.00349.x
  5. Ramadhana, M. R. (2020). A dataset for emotional reactions and family resilience during COVID-19 isolation period among Indonesian families. Data in Brief, 31, 105946–105946. https://doi.org/10.1016/j.dib.2020.105946
  6. Randall, A. K., & Bodenmann, G. (2009). The role of stress on close relationships and marital satisfaction. Clinical Psychology Review, 29(2), 105–115. https://doi.org/10.1016/j.cpr.2008.10.004
  7. Walsh, F. (1996). The concept of family resilience: Crisis and challenge. Family Process, 35(3), 261–281. https://doi.org/10.1111/j. 1545-5300.1996.00261.x
Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *