Penduduk dan Lingkungan

Cerita dari Lapangan: Melihat Kaum Muda Bertani di Kebun, Kota Bandung6 min read

July 7, 2023 5 min read

author:

Cerita dari Lapangan: Melihat Kaum Muda Bertani di Kebun, Kota Bandung6 min read

Reading Time: 5 minutes

Ketika membayangkan kegiatan bertani, apa yang muncul di benak pembaca? Kemungkinan besar yang muncul dalam bayangan adalah kegiatan pertanian yang dilakukan oleh petani di sawah di pedesaan dan umumnya dilakukan oleh kelompok  petani yang kebanyakan sudah termasuk kelompok usia tidak muda lagi. Namun demikian, ternyata itu tidak terbukti. Dalam tulisan ini, penulis akan memaparkan kisah dari kelompok muda yang melaksanakan kegiatan bertani di kebun-kebun di dalam kota. Di Kota Bandung ada sekelompok kaum muda yang secara tekun mendalami kegiatan ‘berkebun’ ini, dan uniknya, mereka bahkan sudah menghasilkan aneka ragam sayuran yang dapat dijual. Sehubungan hal tersebut, penulis tertarik untuk menceritakan sebuah komunitas berkebun di Kota Bandung yang dikenal dengan sebutan “Komunitas 1000 Kebun”.  

Perkenalan penulis dan tim peneliti dengan pengelola sekaligus pendiri komunitas ini terjadi di acara sosialisasi yang ditujukan kepada karang taruna terkait kegiatan berkebun di lahan-lahan kosong atau lahan fasilitas umum (fasum) yang merupakan zona hijau. Tentunya menjadi pertanyaan apa yang mendorong kaum muda ini mau melakukan kegiatan berkebun-bercocok tanam dan tidak hanya itu saja tetapi mau secara sukarela mengajak masyarakat di perkotaan ini untuk memanfaatkan lahan-lahan kosong yang masih tersedia di Kota Bandung sebagai area bercocok tanam. Berdasar paparan tokoh muda penggagas gerakan ini, awal ketertarikannya menggeluti dunia pertanian dipengaruhi oleh sang kakek yang merupakan pendiri SPMA (Sekolah Pertanian Menengah Atas) di Tanjung Sari. Dari sang kakek tersebutlah Ia kemudian belajar teknis pertanian. Namun pengetahuan berkebun-bertani juga diperoleh sang tokoh secara mandiri melalui kegiatan pelatihan, bergabung dengan jaringan komunitas, dan melalui proses membaca. Menurutnya manfaat yang diperoleh dari bergabung dengan komunitas sangat besar dalam mendorongnya menekuni dunia pertanian.

Menurut tokoh muda tersebut, awal kegiatannya tidak langsung melakukan kegiatan berkebun, tetapi lebih banyak melakukan campaign terutama terhadap warga disekitar tempat tinggalnya yang memiliki perhatian terhadap pertanian. Di tahap awal bahkan untuk menentukan tempat kumpul agar dapat saling berbagi pengetahuan saja tidak mudah, meski akhirnya dapat juga Ia berhasil membentuk kelompok berkebun. Ternyata semakin hari semakin banyak yang antusias, sehingga terbentuklah Komunitas 1000 Kebun pada akhir tahun 2015. Awalnya keanggotaan hanya 20 orang, bahkan dalam perjalanan pendirinya tersisa 7 orang. Namun dengan berjalannya waktu keanggotaan mencapai 800-an lebih dengan latar belakang anggota yang beragam. Tidak semua dari kalangan praktisi, tetapi ada juga yang akademisi, yang hanya sekedar hobby, bahkan ada juga anggota yang dari dinas pemerintahan. Keanggotaan juga ada yang dari group small scale farmer (UMKM) yang sudah memiliki konsep green, yang berjumlah sekitar 60-an.  Di forum yang sering diadakan Komunitas 1000 Kebun ini, sering melakukan sharing teknis pertanian, diskusi, dll. Platform komunikasi hanya menggunakan WhatsApp (WA), Namun dengan platform ini memungkinkan semua orang dari seluruh Indonesia bisa terlibat. Saat ini sudah terbentuk 4 group WA. 

Awalnya Komunitas 1000 Kebun ini belum memiliki kebun sendiri, namun ketika itu yang lebih dirasakan adalah pentingnya peningkatan awareness untuk membantu komunitas yang sudah memiliki kebun. Para anggota sebelum turun ke ‘kebun’ mereka sudah mendapat pelatihan dulu di Seni Tani di Ski Air, Kelurahan Sukamiskin, Bandung selama 2 bulan tentang teknis pertanian dan managemen pertanian. Setelah mendapat pelatihan, baru mereka diajak untuk melakukan pemberdayaan ke masyarakat di RW 6, Kelurahan Cisaranten Endah. Di RW 6 ini semua warga lokal yang minat untuk berkebun diajak untuk terlibat. Pada kegiatan ini tidak harus pemuda yang terlibat, tetapi siapapun yang berminat. Pemilihan lokasi tersebut dilakukan dengan pertimbangan untuk membantu tetangga yang terdekat dulu. Diharapkan kegiatan di RW 6 ini dapat dijadikan semacam pilot project, yang apabila berhasil akan diduplikasi di daerah lainnya.

Pada tahap awal, masih sangat terbatas masyarakat yang paham tentang konsep ‘green’, termasuk tentang organic farming. Selain itu, masalah pengelolaan sampah juga belum menjadi fokus perhatian. Sehingga  ketika komunitas akan membuat program, diputuskan dimulai melalui isu-isu tersebut, dan kegiatan fokus pada penyampaian informasi dan raising awareness. Jadi Komunitas 1000 Kebun di momen pertama terbentuk lebih banyak melakukan kegiatan campaign untuk meningkatkan awareness dengan pemberian edukasi ke masyarakat. Tapi kemudian mereka terpikir, saat itu komunitas belum memiliki kebun sendiri. Akhirnya para kaum muda yang bergabung dengan Komunitas 1000 Kebun ini sepakat untuk membangun kebun di jalan Ski Air untuk menjadi percontohan. Mereka kemudian merekruit dua orang pemuda lokal, usia 18 dan 19 tahun, untuk membantu mengerjakan kebun. 

Pemuda yang diajak berkebun-bertani mulanya merasa ragu-ragu, tapi kemudian diberi tahu bahwa apabila pertanian dikelola dengan benar, tidak akan kalah penghasilannya dengan profesi yang lain. Setelah mampu diyakinkan, para pemuda tersebut akhirnya mau mencoba dan sampai sekarang masih bekerja di kebun. Jadi kegiatan pemuda-pemuda tersebut pada dasarnya untuk men-trigger para pemuda lokal lainnya untuk mau terjun ke usaha tani kebun. Karena diperkirakan ada prospek di sini, selain hasil sayurannya bisa dijual, pengolahan sampah menjadi kompos juga dapat dijadikan media tanam. Upaya ini juga untuk memberi pengetahuan pada warga lokal bahwa dari usaha tani kebun juga dapat memberikan tambahan pemasukan.

Apabila dihitung dari penghasilan, pada awalnya hanya dapat dikatakan ‘cukup’ saja, belum untung, dengan kata lain ‘impas’ saja. Kegiatan yang masih menjadi ‘PR’ komunitas untuk digarap adalah marketing, yaitu menarik lebih banyak pelanggan dan melakukan perluasan lahan. Karena dari perhitungan 1000 meter persegi itu kalau panen hanya sekitar 4 kwintal/400 kg dan kalau dihitung masing-masing pelanggan itu mendapat 2 kg/seminggu, maka dalam sebulan panen 400 kg hanya pas untuk 50 orang saja. Pertimbangan lainnya untuk melakukan perluasan lahan adalah melihat di sekitar lingkungan tempat tinggal, masih banyak pemuda yang membutuhkan pekerjaan. Apalagi setelah pandemi Covid 19 ini untuk mencari kerja tidak mudah. Sehingga kalau punya lahan yang lebih luas, diharapkan dapat lebih banyak merekruit SDM yang belum punya kerjaan. 

Pada saat ini, Komunitas 1000 Kebun memiliki 3 kegiatan, yaitu 1). ‘Ngeruk’, dari Ngebon Seruyuk (seminggu sekali ada kegiatan di kelas untuk membahas topik-topik pengolahan dan penanaman); 2). Tour Kebun yaitu open trip ke masyarakat sekitar untuk mengunjungi kebun-kebun yang dimiliki komunitas; dan 3). Pasar sehat untuk memberi informasi ke masyarakat luas tentang kegiatan small farmer dan UMKM, dan yang harus terlibat dalam kegiatan ini harus yang owner/petani yang memproduksi. Harapannya owner/petani bisa menceritakan secara langsung pengalamannya, karena dalam kegiatan ini juga diundang para stakeholder di bidang pangan, seperti pemerintah, LSM, aktivis, sehingga harapannya saling komunikasi dan saling berbagi. Dampak positif adanya kegiatan pasar sehat misalnya saat ini sudah ada beberapa tenant yang sudah berkembang pesat. Seperti usaha ‘serasa salad’ dulunya jualan melalui gerobak, tetapi kemudian saat ini usahanya sudah berkembang dan memiliki 2 cabang di beberapa lokasi. Di pasar sehat ini ada juga kegiatan edukasi, mulai dari tanam, olah dan kemudian pengelolaan sampah-sampahnya.

Kegiatan komunitas ini bukannya tidak menghadapi tantangan. Menarik minat pemuda dalam lingkup RT/RW tidaklah mudah, karena para pemuda di perkotaan memiliki stigma di kalangan masyarakat sebagai orang yang tidak tahu menahu tentang pertanian. Para pemuda mengungkap beberapa komentar warga di sekitar seperti “iya kita malah diusir sama bapak-bapak, jangan main-main di sini katanya”, “tau apa sih kamu?”. Kami dianggap menganggu saja, sehingga akhirnya ada yang kemudian kembali main game untuk mengisi waktu. Atau di sisi lain kami dianggap hanya memiliki konsep tetapi tidak bekerja. Pada praktiknya para pemuda tidak banyak dilibatkan dalam pembuatan keputusan di tingkat RT/RW. Sehingga seperti ada ‘gap’ antara pemuda dengan pengurus RT/RW. Namun dari pengalaman yang dimiliki Komunitas 1000 Kebun ini membuktikan bahwa kaum muda juga mampu melakukan perubahan apabila memiliki bekal pengetahuan yang cukup dan pendampingan yang berkelanjutan. Diharapkan dari cerita ini dapat menggugah kelompok-kelompok warga masyarakat khususnya yang tinggal di perkotaan untuk memberdayakan kamu mudanya, untuk bersama-sama secara serius menekuni pertanian di lahan-lahan kosong atau terbengkalai. Karena terbukti selain hasil kebun dapat dikonsumsi/dijual, kegiatan ini juga menjadi outlet bagi kaum muda yang ‘terpaksa’ menganggur.

Penulis: Ade Latifa

Editor: Anggi Afriansyah

Author

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *