Penduduk dan Lingkungan

Mengais Benih Padi di Bekas Lumbung Pangan4 min read

July 19, 2022 3 min read

author:

Mengais Benih Padi di Bekas Lumbung Pangan4 min read

Reading Time: 3 minutes

Penduduk Suku Dayak di tepi Sungai Kahayan, seperti halnya suku-suku lain yang hidup di sungai besar, sejak lama sudah menunjukkan kemandiriannya dalam mengolah lahan basah, yang dikenal dengan rawa pasang surut, dalam bertani baik padi, hortikultura, dan perkebunan (Subagio et al. 2015). Mereka melakukannya dengan menggunakan cara-cara tradisional dengan sistem irigasi mengikuti irama pasang surut sungai besar tersebut. Penduduk di Tepi Sungai Kahayan mengenal istilah handil, yang merupakan sungai buatan untuk mengatur air pasang dan surut ke lahan pertanian yang berada di tepi sungai besar (Prasetyo, 2021).

“Dulu, sekitar tahun 1975, saat bapak dan petani lainnya di Tumbang Nusa belum dilarang membakar lahan untuk tanam padi, bapak pernah bilang kalau gambut tidak cocok ditanami tanaman pertanian, karena biayanya mahal,” ujar salah seorang petani, yang sudah bertani turun temurun.

Pada generasi sebelumnya, padi ditanam di tanah mineral yang berada di tepi Sungai Kahayan. Seperti orang Dayak pada umumnya, pembakaran lahan sudah menjadi syarat utama dalam memulai penanaman padi. Abu sisa pembakaran diyakini menyuburkan tanah dan membuat hasil panen padi bisa maksimal. Lahan yang sudah siap kemudian ditanami dengan sistem menugal, yakni memasukkan benih padi ke dalam lubang di tanah dengan diameter 5-7 cm dan lubang itu ditutup kembali dengan tanah atau abu sisa pembakaran lahan (Limin et al, 2007). 

Namun, pembukaan lahan gambut sejuta hektar melalui proyek PLG tahun 1995 telah menyebabkan bencana ekologi sepanjang dua setengah dekade alih-alih menjadikan Indonesia sebagai produsen beras kelas dunia. Tahun 2015 merupakan puncak bencana kebakaran gambut pasca PLG. Kalimantan Tengah terdampak paling luas dimana hampir 200.000 ha lahan gambut yang terbakar, disusul Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Riau dan Jambi (Sinta, 2021).

Pasca rusaknya ekosistem gambut dan kebakaran gambut tahun 2015, pemerintah mengeluarkan kebijakan larangan pembakaran lahan di areal maupun maupun di sekitar lahan gambut. Sanksinya berupa denda jutaan rupiah dan kurungan belasan tahun akan dijatuhi bagi yang melanggar. Peraturan itu diterapkan untuk mencegah terulangnya bencana kebakaran tanah gambut terutama di musim kemarau basah.

 “Sejak larangan pembakaran lahan berlaku, kami sama sekali tidak berani dan tidak pernah menanam padi. Jenis-jenis padi lokal yang kami simpan pun perlahan mulai rusak dan punah,” lanjut petani tersebut.

Alih-alih meratapi nasib karena tak punya sawah untuk ditanami padi dan tak punya sistem ketahanan pangan yang kuat di tingkat keluarga, serta tempat tinggalnya yang berada di tengah-tengah tanah gambut yang membutuhkan modal besar untuk diolah jadi sawah, para petani berinisiatif melakukan uji coba menanam padi menggunakan media polybag. Dimulai dengan menanam Padi Siam di awal tahun 2020.

Cara menanam padi di polybag diakui terinspirasi dari cara membuat bibit jenis tanaman kayu yang banyak dilakukan penduduk di Desa Tumbang Nusa di tempat-tempat pembibitan. Kebanyakan bibit-bibit kayu itu dijual ke pemborong untuk kebutuhan reboisasi atau penghijauan lahan gambut.

Polybag yang digunakan berukuran 20 x 20 cm sebagai wadah media tanam. Media tanam berasal dari tanah gambut. Tanah gambut tersebut diberi campuran sabun deterjen dan air dengan takaran tertentu untuk mengurangi kadar asam tanah gambut. Satu kubik tanah gambut bisa untuk mengisi 30 polybag berukuran 20×20. Setiap kantung polybag diisi dengan 3-4 bulir benih padi Siam. Varietas padi Siam di dalam polybag membutuhkan waktu sekitar sembilan bulan untuk bisa dipanen, dengan pemberian pupuk NPK saat padi memiliki tinggi 10 cm, 15 cm, 25 cm, 30 cm, dan 35 cm.

Budidaya padi dalam polybag memang bertujuan untuk mengatasi keterbatasan lahan atau ketiadaan sawah yang sudah banyak beralih fungsi menjadi permukiman atau bangunan lainnya (Saleh et al. 2012; Kusbaryunadi, 2019). Penggunaan polybag dalam budidaya padi memberi keuntungan karena mengurangi ketergantungan terhadap musim. Baik terhadap musim hujan yang biasanya merendam lahan gambut maupun kemarau yang berpotensi kekurangan air atau kebakaran. Padi di polybag juga tidak butuh naungan sehingga lebih hemat secara material. Diharapkan penanaman padi di polybag ini dapat berkembang terus dan mendapat perhatian untuk peningkatan kualitas proses dan hasilnya.

#catatanlapangan #ceritadarilapangan #foodestatekalimantan #peatfire

Catatan lapangan ini dibuat saat melakukan kegiatan pengumpulan data Project ACIAR FST/2016/144 “Improving Community Fire Management and Peatland Restoration in Indonesia: analysis of livelihoods based on aspirations, drivers of change and environmental realities in Tumbang Nusa, Pulang Pisau Distric, Central Kalimantan.” 

Penulis: Budiyanto Dwi Prasetyo – Peneliti Pusat Riset Kependudukan BRIN

References:

Kusbaryunadi, M. and UPY, F.P., 2019. Pendampungan Petani tentang Budidaya Padi dalam Pemanfaatan Lahan Pekarangan Permukiman Perkotaan.

Limin, S.H. and Ermiasi, Y., 2007. History of the development of tropical peatland in central Kalimantan, Indonesia. Tropics16(3), pp.291-301.

Prasetyo, B.D., 2021, Orang-orang Handil dan Kenangan Kejayaan Pangan, kabaralam.com.

https://kabaralam.com/tapak/orang-orang-handil-dan-kenangan-kejayaan-pangan diakses 13 July 2022 jam 11:22 wib.

Saleh, E., Nainggolan, A.F. and Butarbutar, L., 2012. Budidaya Padi Di Dalam Polibeg

Dengan Irigasi Bertekanan Untuk Antisipasi Pesatnya Perubahan Fungsi Lahan Sawah. Teknotan: Jurnal Industri Teknologi Pertanian6(1).

Sinta, D., 2021. Disaster literacy among young peatland farmers in Central Kalimantan.

In E3S Web of Conferences (Vol. 249, p. 03009). EDP Sciences.

Subagio, H., Noor, M., Yusuf, W.A. and Khairulah, I., 2015, Sejarah dan corak Pertanian Lahan rawa, IAARD Press

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *