Model pengelolaan sampah berbasis komunitas lokal: catatan lapangan Kota Bandung4 min read
Sebagai kota terpadat di Jawa Barat, banyak permasalahan perkotaan yang dihadapi Kota Bandung, salah satunya adalahsampah . Berdasarkan data Dinas Perumahan dan Permukiman yang dipublikasikan Open Data Jawa Barat, produksi sampah di Kota Bandung mencapai sekitar 1.529 -1.600 ton per hari pada tahun 2021 (terdiri dari 63 % sampah organik, 23 % sampah anorganik dan sisanya 14 % merupakan sampah residu). Produksi sampah Kota Bandung merupakan yang tertinggi dibanding kabupaten/kota lainnya di Provinsi Jawa Barat. Dengan demikian, Kota Bandung berpotensi menghadapi permasalahan sampah yang serius apabila masyarakatnya tidak bijak dalam mengelola sampah. Pemerintah Kota Bandung memiliki target pengurangan sampah tahun 2022 sebesar 28.7 % dan di tahun 2025 sebesar 34 %. mungkinkah target pengurangan sampah bisa mencapai 100 % ? Melalui tulisan ini mencoba mengangkat kisah sukses pengelolaan sampah/limbah yang dilakukan oleh komunitas lokal di Kota Bandung berdasarkan hasil kajian yang pernah dilakukan tim peneliti BRIN dan BPS pada tahun 2022. Diharapkan dengan mengangkat kisah ini dapat memotivasi komunitas di daerah lainnya untuk mengimplementasikan model pengelolaan sampah/ dari hulu ke hilir sehingga.
Gerakan KangPisMan “Kurangi, Pisahkan, manfaatkan” Sampah.
gerakan KangPisMan merupakan inisiatif pengelolaan sampah untuk mendorong terjadinya ekonomi sirkuler dari kegiatan pengelolaan sampah. Model ini dilakukan oleh komunitas lokal di Kelurahan Sukajadi di bawah komando Ketua RW 07 yang kebetulan juga seorang penyuluh lingkungan. Di kawasan Bebas Sampah (KBS) RW 07 Sukajadi tersebut telah mampu melakukan kegiatan pengumpulan dan pemilahan sampah organik dan anoragnik dari sekitar 50 rumah tangga dan berhasil mengurangi pembuangan sampah di TPS (Tempat Penampungan Sementara). Hebatnya lagi, pihak KBS bersama dengan UPT PPS Puspa berkolaborasi dengan pihak swasta dan BRIN sudah mampu mengupayakan zero waste, dengan cara mengolah mix waste (sampah organik dan anorganik) menjadi biomassa dan briket sebagai bahan bakar pengganti batu bara yang bernilai ekonomi tinggi. Sebagai gambaran saja, dari usaha pengelolaan limbah ini sudah mampu mendapat keuntungan sekitar 78 juta. Hitung-hitungan ini diperoleh dari hasil produksi selama 25 hari yang mencapai sekitar 118 juta dikurangi dengan biaya operasional sekitar 40 juta, sehingga diperoleh sisa 78 juta sebagai keuntungan bersih yang dapat diperoleh perusahaan konsorsium tersebut. Hal penting yang perlu disampaikan di sini adalah untuk kebutuhan pembuatan briket tersebut menggunakan hampir 85 % sampah dari lingkungan sekitar masuk ke UPT PPS Puspa, jadi yang ke TPA (Tempat Pemprosesan Akhir) tersisa 10-15 %. Penggunaan briket atau biomassa yang diupayakan konsorsium tersebut menjadi salah satu alternatif pengganti penggunaan energi batu bara sebesar 10 %. Selain itu, industri yang sudah menggunakan briket dapat menghemat biaya pembuangan limbah kurang lebih 100 juta per bulannya. Bayangkan berapa bear pengeluaran yang bisa dihemat oleh pihak industry selama 1 tahun, bisa mencapai 1,2 milyar.
Ubah sampah menjadi pakan ternak
Kisah sukses lainnya dari model pengelolaan limbah yang menarik untuk diketengahkan adalah inovasi dari komunitas Bangbara Bedas dalam menciptakan pakan bebek dari beragam limbah organik dengan harga jual yang lebih murah dari harga di pasaran namun mampu menghasilkan bebek organik dan telur bebek yang lebih berkualitas. Untuk peternak sendiri yang tergabung dengan komunitas ini mampu meraup keuntungan sekitar 1,2 juta per bulannya dari hasil usaha penetasan dan petelur dari 100 ekor bebek. Keuntungan sebesar itu dimungkinkan karena harga pakan ternak bebek yang jauh lebih murah. Kelebihan dari inovasi yang digagas oleh komunitas Bangbara Bedas ini adalah selain menciptakan pakan ternak sehat karena diolah dari limbah organik, juga melibatkan seluruh elemen masyarakat di tingkat desa dengan menjalankan peran masing-masing mengikuti skema Ekonomi Desa Sejahtera (EDS) yang digagas oleh Bangbara Bedas. Dalam skema EDS tersebut Pak RT memiliki peran sebagai penggiling bahan pakan dari limbah organik, Pak Kadus memfasilitasi gapoktan, kelompok ibu-ibu PKK membuat telur asin, anak-anak dan pemuda karang taruna mengumpulkan minyak jelantah, sementara masyarakat umum memperoleh akses memelihara bebek maupun indukan.
Ketika bicara manfaat ekonomi dari upaya pengelolaansampah , sudah tergambarkan dengan hitung-hitungan kasar tersebut. Hal yang menarik adalah terjadinya peningkatan kesadaran di tingkat masyarakat yang berdampak positif terhadap lingkungan dan juga perubahan perilaku yang memperlihatkan adanya keinginan merubah nasib menjadi seorang wirausaha, tidak mau menjadi seseorang yang hanya menerima bansos. Bahkan ada warga yang meminta untuk di KTP-nya ditulis sebagai wirausaha bukan lagi buruh tani. Melalui usaha pengelolaan sampah/ ini masyarakat merasa diberi ‘kail’ bukan hanya ikan semata.
Pembelajaran apa yang dapat ditarik dari kisah sukses ini ? pertama adalah pentingnya peranan aktor/tokoh dari komunitas lokal dalam membangun kesadaran di tingkat masyarakat terkait pengelolaan sampah/limbah yang kemudian mendorong terjadinya perubahan perilaku yang berdampak positif terhadap lingkungan. Kedua, melalui skema yang terintegrasi dari hulu ke hilir dengan mendasarkan pada kebutuhan dan potensi masyarakat, lebih efektif dalam memberdayakan dan menyejahterakan seluruh elemen masyarakat di tingkat RT/RW/desa, mulai dari anak-anak, pemuda, ibu, bapak dan lansia.Ketiga, peran serta masyarakat sangat penting untuk mengembangkan perilaku yang lebih positif dan bertanggung jawab terhadap lingkungan sehingga mampu mencetak lebih banyak ‘champion’ di tingkat lokal.
Penulis: Ade Latifa
Editor: Vanda Ningrum