Peneliti dan Risiko Terpapar COVID-19: Catatan Penelitian Lapangan8 min read
Tulisan singkat ini bertujuan untuk berbagi pengalaman terkait risiko COVID-19 bagi seorang peneliti sosial yang harus melakukan penelitian lapangan di saat pandemi COVID-19. Informasi yang disampaikan berasal dari pengalaman penulis ketika melakukan wawancara mendalam (in-depth interviews), diskusi terfokus (Focus Group Discussion, FGD) dan observasi lapangan di Kabupaten Kendal, Pati, Klaten, Kota Solo dan Yogyakarta pada 27 September – 4 Oktober 2020. Informan yang terlibat adalah para mantan pekerja migran Indonesia (PMI) dari Korea Selatan serta tokoh masyarakat di lokasi penelitian. Kegiatan penelitian ini merupakan bagian dari hibah penelitian hasil kerjasama antara Pusat Penelitian Kependudukan LIPI dan Korea Foundation tahun 2020 dengan tema penelitian “Indonesian Migrant Workers in Korea: Issues and Prospects.”
Pada bulan Februari 2020, tim peneliti telah menyusun seluruh desain penelitian, termasuk jadwal penelitian lapangan di Korea Selatan dan Indonesia, target responden, penghubung di lokasi penelitian, hingga rencana pendukung seperti pemesanan kamar hotel dan tiket penerbangan. Bayangan tentang risiko pandemi COVID-19 pada saat itu belum begitu kuat mempengaruhi keputusan tim peneliti untuk berangkat melakukan penelitian lapangan. Apalagi pada awal tahun 2020, Januari-Februari, pemerintah masih sangat percaya diri terkait berbagai upaya yang dilakukan untuk mencegah COVID-19 masuk ke Indonesia.
Rencana penelitian mulai mengalami penyesuaian dan perubahan ketika kasus pertama tertular COVID-19 dan alert terhadap pandemi COVID-19 diumumkan pemerintah pada pertengahan Maret 2020. Pada saat yang bersamaan, pemerintah Korea Selatan juga menutup wilayah negara mereka terkait visa kunjungan warga negara asing, termasuk dari Indonesia. Beberapa hari kemudian setelah pengumuman status darurat COVID-19, Deputi Ilmu Pengetahuan Sosial Kemanusiaan (IPSK) LIPI juga mengeluarkan surat edaran, yang intinya melarang kegiatan penelitian lapangan bagi peneliti di lingkungan Kedeputian IPSK dengan batas waktu hingga Juni 2020. Ketiga peristiwa tersebut kemudian ‘memaksa’ tim peneliti untuk medesain ulang metode dan teknik pengumpulan data, termasuk penggunaan wawancara online dan menyusun ulang rencana penelitian lapangan.
Jadwal penelitian lapangan ke Korea Selatan yang sebelumnya ditetapkan awal pertengahan April 2020, bergeser hingga batas waktu yang belum ditentukan sambil menunggu pengumuman dari kontak peneliti dengan pihak Korea Foundation. Sambil menunggu kepastian keberangkatan, tim peneliti melakukan wawancara menggunakan aplikasi zoom melibatkan beberapa informan yang sedang berada di Korea Selatan. Sementara penelitian lapangan di Indonesia, digeser dari awal Juni menjadi pertengahan Juli 2020, dengan asumsi pandemi COVID-19 mengalami penurunan.
Sindrom ‘Paranoid” COVID-19 dan Keterkagetan yang Berulang
Setelah melakukan beberapa kali penjadwalan ulang penelitian lapangan dan penyesuaian untuk mendapatkan persetujuan perizinan dari pusat penelitian dan kedeputian, akhirnya pada akhir September 2020 kami diberikan izin untuk penelitian lapangan di Indonesia. Alasan utama, karena sumber data kualitatif menjadi domain penting bagi tim peneliti untuk melakukan analisis terkait topik penelitian yang diajukan. Tim peneliti pun menyakinkan pengambil keputusan (Kapus dan Deputi) untuk siap melakukan rapid test sebelum dan setelah melakukan perjalanan dinas, serta mematuhi segala protokol kesehatan selama di lapangan.
Namun demikian, izin penelitian tersebut (dalam bentuk penerbitan surat tugas) dikeluarkan dengan sangat ketat. Salah satu anggota tim penelitian ditunda keberangkatan lapangannya karena pertimbangan resiko kerentanan terpapar COVID-19 akibat masalah komorbit. Sementara untuk penelitian lapangan di Korea Selatan, hingga saat penulisan artikel ini, statusnya masih menunggu ‘green light’ dari pemerintah Korea Selatan. Untungnya, pihak Korea Foundation sangat kooperatif, termasuk memberikan persetujuan untuk ‘contract extension’ hingga akhir Juni 2021.
Hari petama penelitian lapangan di Indonesia, kami tiba di Kota Semarang sore hari menjelang malam. Dari sejak keluar bandara Ahmad Yani Semarang, kami sudah mulai ‘terperangah’ dengan banyaknya orang-orang yang menawarkan jasa sewa kendaran dan taksi tanpa menggunakan masker. Maklum saja, ini perjalanan dinas luar kota lintas provinsi pertama yang kami lakukan di tahun 2020 saat pandemi COVID-19 sedang berlangsung.
Perasaan terkaget pun semakin menjadi, ketika kami memutuskan untuk makan malam terlebih dahulu sebelum beristirahat di sebuah hotel kawasan Simpang Lima Semarang. Saat itu, kami memutuskan makan malam di pusat kuliner Simpang Lima yang sejak zaman Gubernur Bibit Waluyo telah ditata dengan apik dan bersih. Di lokasi ini, kekagetan kami tertuju pada mayoritas pengunjung yang duduk saling berdekatan dan tanpa menggunakan masker. Pelayan yang menawarkan minum kepada kami pun juga tidak menggunakan masker.
Ketika sedang makan pastinya wajar jika para pengunjung membuka masker. Tetapi dari pantauan kami, banyak pengunjung yang sudah selesai makan, dan menikmati obrolan bersama, jangankan menggunakan masker, jaga jarakpun diabaikan. Rata-rata satu meja makan ukuran 1 x2 meter diisi enam orang saling berhadapan. Belum lagi kepulan asap rokok dari segala penjuru yang menurut kami tidak sepantasnya dibolehkan di wilayah publik seperti kawasan pusat kuliner Simpang Lima Kota Semarang. Kami pun terheran-heran, karena selama ini jarang mendapatkan pengalaman ini selama di Jakarta. Padahal lokasi ini hanya berjarak tidak lebih setengah kilometer dari Kantor Pusat Pemerintahan Gubernur Jawa Tengah, Pak Ganjar Pranowo, di Jalan Pahlawan Kota Semarang.
Pemandangan yang sama juga kami jumpai ketika menyempatkan waktu melihat orang-orang yang berada di sudut keramaian pusat Kota Semarang, seperti kafe dan pusat jajanan lesehan. Alhasil kami seperti sedang terjangkit sindrom ‘paranoid COVID-19’. Perasaan kami saat itu karena berasal dari daerah yang super ketat protokol kesehatan, masuk ke daerah yang masyarakatnya terkesan santai menghadapi pandemi COVID-19.
Hari berikutnya, ketika melakukan kunjungan di lokasi penelitian di Kota Kendal, kami kembali terkaget ketika menyapa satu per satu peserta FGD yang datang memenuhi undangan. Dari 20 peserta yang hadir, tidak satu pun yang jangankan memakai, membawa masker pun tidak. Hanya kami tim peneliti yang saat itu memakai masker. Lebih terkagetnya lagi, ketika satu persatu peserta FGD datang ke lokasi acara, kebiasaan ‘salaman’ ke seluruh peserta juga dilakukan seperti halnya dalam kondisi normal, termasuk kepada tim peneliti. Dalam kondisi seperti ini, tim peneliti berada pada situasi dilematik. Di satu sisi ingin mematahi protokol kesehatan, tapi disisi lain jika kami menolak tradisi salaman khawatir dianggap kurang ‘bersahabat’. Padahal, salah satu strategi keberhasilan FGD adalah menghilangkan perbedaan status antara peneliti dan partisan dan sebisa mungkin dari sejak awal diciptakan suasana atau hubungan yang ‘cair’.
Tak ayal, kami pun terbawa situasi, namun dalam hati tetap menguatkan diri untuk aktif membersihakan tangan kami dengan mini hand sanitizer yang selalu kami sematkan di saku celana atau baju. Begitupun untuk urusan masker tetap kami gunakan, tidak ada tawar menawar. Walaupun sering muncul perasaan galau saat berbicara, sementara lawan bicara kita tidak menggunakan masker. Beruntung khusus rekan kami ‘Mbak Vera’ yang bisa menolak salaman karena alasan ‘bukan mukhrim’, walaupun kalau dalam kondisi normal, alasan tersebut menurutnya tidak berlaku.
Ketika kami coba tanyakan ke beberapa peserta FGD, mengapa tidak memakai masker? Jawabannya sungguh menarik : “kalau disini tidak ada covid pak, aman-aman saja”. Padahal kalau dilihat dari Peta Monitoring Data COVID-19 Kabupaten Kendal, persebaran kasus suspek dan positif COVID-19 di daerah ini terlihat merata hampir di semua kecamatan, termasuk lokasi tempat kami melakukan FGD.
Pada hari berikutnya, kami mengatur janji bertemu dengan seorang kepala desa di Kabupaten Pati. Kami pun kembali mengalami keterkagetan ketika memasuki kantor desa. Tidak ada satupun staf kantor desa yang memakai masker. Masyarakat yang kami lihat sedang antri menunggu pelayanan dari kantor desa pun mayoritas tidak memakai masker. Begitupun dengan Bapak Kepala Desa yang kami temui dan dengan santainya mengajak kami bersalaman. Pada saat itu, kami merasa sangat ‘kikuk’ seperti ‘aliens’ yang datang dari negeri antah berantah, tetap ingin tetap mematuhi protokol kesehatan yang diatur begitu ketat di ‘planet’ asal kami.
Namun kami pun tetap ber-‘husnuzon’ bahwa kami memang harus mematuhi protokol kesehatan. Kami sebagai tamu di daerah lokasi penelitian tidak ingin menjadi perantara penyebaran virus COVID-19 lantaran kami berasal dari daerah ‘merah’ dan tidak mematuhi protocol kesehatan. Apalagi, hari pertama tiba di lokasi penelitian di Kota Semarang, kami menerima pesan singkat dari Ibu Deputi yang menyarankan tetap konsisten menjaga protokol kesehatan. Izin ke lapangan yang diberikan kepada tim kami akan menjadi ‘taruhan’ bagi tim lainnya yang akan melakukan penelitian lapangan. Artinya, jika setelah pulang lapangan kami terindikasi positif COVID-19, maka kemungkinan besar tim lain tidak akan diizinkan ke lapangan.
Pengalaman serupa juga kami temukan di beberapa lokasi di Klaten, Solo dan Yogyakarta. Namun kondisi di daerah ini relatif lebih aman karena masih banyak ditemui penduduk yang menggunakan masker ketika berada di luar rumah. Misalnya, ketika kami menyambangi makan siang di sebuah rumah makan soto terkenal di Kota Solo. Kami perhatikan baik pelayan rumah makan dan pengunjung terlihat disiplin mematuhi protokol kesehatan, seperti berjaga jarak saat duduk dan menggunakan masker saat sebelum dan setelah menikmati semangkuk soto yang sangat populer itu, termasuk di kalangan para pejabat. Namun tetap saja, di ketiga daerah ini ketika bertemu beberapa informan untuk wawancara dan FGD, pengalaman di Kendal dan Pati, juga sering terulang kembali.
Pelajaran Berharga
Berdasar pengalaman penelitian di atas, resiko terpapar COVID-19 bagi seorang peneliti bidang sosial ketika melakukan penelitian lapangan tentunya sangat tinggi. Apalagi jika penelitian yang dilakukan membutuhkan mobilias tinggi dan bertemu dengan banyak orang di daerah terpapar kasus COVID-19.
Kedisiplinan peneliti untuk menjaga protokol kesehatan selama penelitian lapangan menjadi ‘kunci’ agar seorang peneliti terhindari dari risiko terpapar positif COVID-19. Bahkan jika perlu melakukan ‘extra prevention’ menggunakan hand sanitizer sesering mungkin, melepas dan mencuci pakaian serta membersihkan badan secara langsung tanpa di tunda ketika masuk hotel. Begitu pula dengan upaya memilih lokasi untuk makan yang memiliki standar protokol COVID-19. Tidak juga lupa untuk istirahat yang cukup dan asupan tambahan vitamin selama di lapangan untuk menjaga immune tubuh tetap stabil.
Pelajaran berharga lainnya adalah melakukan peran peneliti sebagai duta COVID-19. Sebisa mungkin tim peneliti juga membawa persediaan banyak masker. Ketika bertemu dengan informan yang tidak memakai masker, maka tim peneliti dapat memberikan masker tersebut secara gratis sambil memberikan edukasi terkait risiko COVID-19.
Upaya penyadaran masyarakat akan risiko pandemi COVID-19 tentunya bukan hanya tugas pemerintah, tetapi juga butuh partisipasi masayarakat dari segala lapisan. Dalam hal ini, ketika melakukan penelitian lapangan, seorang peneliti bidang sosial tentunya bisa menjadi contoh dan berperan sebagai duta COVID-19 bagi masyarakat yang ditemui di lapangan. Jika semua berperan optimal, maka dapat dipastikan kita semuanya akan cepat pulih dari pandemi COVID-19 sesegera mungkin. Harapan untuk bisa segera melakukan penelitian lapangan bagi peneliti bidang sosial pun akan segera dapat direalisasikan. Karena bagi peneliti sosial, data lapangan itu ibarat kalau kita makan siang, kurang lengkap kalau tidak pakai ‘nasi’. Semoga ‘badai COVID-19’ di negeri kita tercinta segera berlalu, dan kita semua bisa kembali hidup secara normal.
Ditulis oleh Nawawi, Andy Ahmad Zaelany, dan Vera Bararah
Peneliti, Pusat Penelitian Kependudukan LIPI