Bencana Pandemi COVID-19 Tidak “Socially Neutral”!8 min read

#MencatatCovid19
Presiden Joko Widodo menyampaikan kepada publik pada 2 Maret 2020, terdapat 2 kasus COVID-19 di Indonesia. Sejak 2 bulan terakhir enam puluh negara di dunia melaporkan warganya yang terinfeksi. Hingga saat ini lebih dari 89.000 orang terjangkit dan data terus bertambah [1].
Distribusi Coronavirus COVID-19 oleh Johns Hopkins CSSE (Data diakses 3 Maret 2020)
Bukan kali pertama pernyataan resmi dikeluarkan Indonesia lebih lambat dari negara lain. Pada kasus SARS 2003, pemerintah Indonesia mengumumkan kesiagaan pada hari ke duapuluh setelah berbagai negara terlebih dahulu bersiap menghadapi wabah yang mematikan hampir 8 ribu jiwa [2].
Melihat yang rencana penanganan pandemi, secara garis besar cenderung menempatkan jatuhnya korban ke dalam kategori “socially neutral” – kaya, miskin semua memiliki risiko keterpaparan yang sama. Hingga saat ini rencana penanganan pandemi tidak memprioritaskan kelompok rentan dalam hal ini warga dalam status ekonomi miskin [3,4].
Fakta bahwa pada kondisi penyebaran wabah yang pernah terjadi sebelumnya telah mengakibatkan besarnya korban pada kelompok masyarakat miskin baik secara hitungan jatuhnya korban jiwa dan kerugian ekonomi dengan cepat terlupakan.
Kelompok miskin dan pandemi flu dalam 100 tahun terakhir
Sebelum COVID -19 merebak, dunia mencatat berbagai macam pandemi yang mengakibatkan jatuhnya banyak korban pada kelompok ekonomi miskin.
Peringatan atas 100 tahun Spanish flu baru saja dilakukan. Wabah influenza yang terjadi tahun 1918 dikenal sebagai Spanish flu karena pertama kali merebak di Spanyol. Pada rentang 1918-1919 terdapat hampir lima puluh juta penduduk dunia tidak terselamatkan.
Tentu saja saat itu sistem peringatan dini tentang penyebaran wabah belum tersedia. Masyarakat Spanyol menganggap wabah flu ini sebagai lelucon [5]. Baru setelah Raja Alfonso XIII yang berdiam di Madrid dilaporkan terjangkit flu, pemerintah mulai sadar bahwa wabah ini harus ditangani.
Namun saat itu sudah terlambat, di tengah Perang Dunia I sebagian besar warga berada di medan perang. Mereka yang bekerja di pabrik senjata tidak bisa mengambil waktu beristirahat karena produksi amunisi harus terus berjalan. Tidak lama, pergerakan tentara juga menyebabkan wabah menyebar ke seluruh daratan Eropa.
Korban terus bertambah,dalam waktu satu bulan menjangkiti seluruh belahan dunia. Sejarah mencatat, di India 18,5 juta orang meninggal, lalu 138 ribu orang di Mesir- bahkan sampai ke Samoa Barat yang sebelumnya dianggap wilayah aman karena lokasinya jauh dari episentrum. Kelas pekerja di Eropa yang saat itu tinggal berdesakan dalam rumah yang sempit dan sanitasi buruk adalah jumlah korban terbesar yang jatuh [7]. Tempat tinggal mereka berubah menjadi cawan petri (petri dish) penyebaran flu.
Setelah Perang Dunia II berakhir flu jenis lain kembali mewabah. Tahun 1957 pandemi “Asian Flu” dilaporkan [7]. Virus H2N2 ditemukan di Singapura kemudian mencapai Hong Kong hingga daratan Amerika Serikat. Ketika mencapai Eropa, pabrik ditutup untuk mengurangi penyebaran. Akibatnya kelompok pekerja tidak memiliki pendapatan. Paling tidak 14 ribu orang di Inggris meninggal karena tidak memiliki akses pemeriksaan medis. Diseluruh dunia diperkirakan 1.1 juta orang meninggal.
Dunia belum memasuki dekade pertama millenium yang baru pada April 2009 swine flu (flu babi) yang disebabkan virus H1N1 menyebar secara luas setelah pertama kali di deteksi di Amerika Serikat [8]. Laporan CDC Amerika Serikat mencatat 575.400 kematian di seluruh dunia.
Lagi-lagi data menunjukkan angka kematian penduduk di negara-negara miskin Amerika Selatan 20 kali lebih tinggi dibandingkan mereka yang terinfeksi dan tinggal di Eropa. Bahkan risiko kematian bagi mereka yang tinggal di Amerika Selatan tiga kali lebih tinggi dibanding penduduk paling miskin yang tinggal di Inggris [9].
Dampak lain wabah tersebut adalah kesalahpahaman penyampaian informasi yang menyebabkan peternak babi menjadi sasaran. Saat swine flu merebak tahun 2009, harga jual babi merosot menjadi Rp 13 ribu per ekor sehingga peternak merugi. Sampai-sampai Persatuan Dokter Hewan Indonesia (PDHI ) mengusulkan supaya pemerintah mengganti istilah flu babi menjadi Flu A seperti di Amerika Utara.
Dalam peta diatas WHO mencatat Indonesia memiliki rencana nasional
yang diterbitkan tahun 2006 untuk menghadapi merebaknya Flu Burung
(Sumber : WHO -National Plans for Pandemic Preparedness and Risk Management, 2020
Tidak “Socially Neutral”
Komunitas global memahami bahwa pandemi seperti yang diuraikan diatas membawa dampak yang merusak tatanan masyarakat selain risiko morbiditas. Bahkan dampaknya disamakan dengan bencana Indian Ocean Tsunami 2004 [3,10,11]. Bencana yang meluluhlantakkan berbagai negara di sepanjang pesisir Samudra Hindia dengan korban lebih dari 200 ribu jiwa. Tsunami 2004 yang juga melanda Aceh menunjukkan penduduk yang tadinya berada di dalam kelompok miskin mengalami kesulitan untuk bertahan saat bencana bahkan banyak yang tidak mampu mengembalikan posisi perekonomian setelah proses pemulihan berakhir. Kelompok ini juga akan terdampak paling parah jika wabah berjangkit di komunitasnya [12,11].
Berbagai literatur menunjukkan kelompok ekonomi menengah dan atas memiliki kesempatan lebih besar untuk mengurangi tingkat keterpaparan [12,13]. Pada tingkat individu maupun rumah tangga mereka mampu menurunkan faktor risiko baik dalam situasi pandemi maupun bencana seperti tsunami dan gempa bumi.
Misalnya aksi panic buying; selang beberapa jam setelah pengumuman dua kasus COVID-19 di Indonesia harga masker langsung melonjak tajam. Panic buying membuat masyarakat berbondong membeli masker sehingga harga pasaran berlipat bahkan mencapai Rp 350 ribu untuk harga normal Rp 25 ribu. Munculnya rumor bahwa isolasi akan diberlakukan kebutuhan pokok juga menjadi sasaran kenaikan harga terutama di sekitar Depok dimana lokasi kasus pertama dilaporkan.
Akumulasi ”persiapan” yang dilakukan oleh kelompok menengah dan atas menimbulkan distorsi harga dan mengganggu persediaan di tingkat pasar. Pada situasi ini kelompok masyarakat miskin tidak diuntungkan. Fluktuasi harga yang terlalu besar membuat mereka tertinggal start dalam bersiap menghadapi risiko terburuk dan berakhir sebagai penonton saja.
Posisi kelompok ini semakin rentan apabila tinggal di lokasi dengan kualitas lingkungan yang buruk atau jauh dari fasilitas kesehatan. Pada rumah tangga yang tidak memiliki akses air bersih atau harus membeli air akan menurunkan prevalensi untuk sanitasi. Akibatnya mempercepat proses transmisi. Selain itu penyebaran virus ini melalui udara yang terinhalasi atau terhirup lewat hidung dan mulut sehingga masuk dalam saluran pernafasan. Permukiman dengan kerapatan bangunan tinggi, jumlah penghuni yang padat dalam satu unit tempat tinggal dipastikan berdampak pada tingginya tingkat keterpaparan terhadap virus.
Berikutnya, lemahnya daya tawar di tempat bekerja. Jika pada akhirnya wabah merebak dan pada skenario terburuk tempat kerja terpaksa merumahkan karyawan dalam jangka waktu tertentu- bagaimana keluarga tersebut dapat terus bertahan? Kelompok miskin yang berprofesi sebagai pekerja harian misalnya akan kehilangan pendapatan yang dipergunakan untuk mendukung kesiapan menghadapi pandemi. Situasi akan semakin parah pada rumah tangga dengan orang tua tunggal. Tidak adanya mekanisme social safety net akan memaksa pencari nafkah keluar rumah dan menambah risiko keterpaparan.
Mungkin saat ini pemerintah sudah menyiapkan banyak skenario kesehatan menghadapi pandemi yang sudah mengakibatkan terganggunya ini. Akan tetapi perencanaan pengurangan risiko merebaknya COVID-19 di Indonesia perlu mempertimbangkan kembali intervensi yang mampu menjawab permasalahan sosial terutama membantu kelompok miskin yang rentan. Dengan memahami konteks bahwa pandemi bukan sebuah peristiwa yang bersifat “socially neutral” dan bukan pula semata isu pharmaceutical akan mampu menyelamatkan lebih banyak jiwa dan mengurangi kerugian ekonomi secara lebih efektif [14].
Ditulis Oleh Syarifah Aini Dalimunthe
Pusat Penelitian Kependudukan LIPI
Graduate School of Environmental Studies – Nagoya University
Referensi
- Coronavirus COVID-19 (2019-nCoV) Available online: https://gisanddata.maps.arcgis.com/apps/opsdashboard/index.html#/bda7594740fd40299423467b48e9ecf6 (diakses pada Mar 2, 2020).
- CNN.com – Indonesia faces SARS battle – Apr. 6, 2003 Available online: http://edition.cnn.com/2003/WORLD/asiapcf/southeast/04/05/indonesia.sars/ (diakses pada Mar 2, 2020).
- Mamelund, S.E.; Shelley-Egan, C.; Rogeberg, O. The association between socioeconomic status and pandemic influenza: Protocol for a systematic review and meta-analysis. Syst. Rev. 2019, 8, 5. DOI : https://doi.org/10.1186/s13643-018-0931-2
- World Bank. 2016. Global crisis risk platform (English). Washington, D.C. : World Bank Group.
- John M. Barry. The great influenza The epic story of the deadliest plague in history.2004.Viking Books: New York, New York, USA.546 pp
- Wever, P.C.; van Bergen, L. Death from 1918 pandemic influenza during the First World War: A perspective from personal and anecdotal evidence. Influenza Other Respi. Viruses 2014, 8, 538–546. DOI: 10.1111/irv.12267
- Lycett, S.J.; Duchatel, F.; Digard, P. A brief history of bird flu. Philos. Trans. R. Soc. B Biol. Sci. 2019, 374. DOI: 10.1098/rstb.2018.0257
- Fineberg, H. V. Global health: Pandemic preparedness and response – Lessons from the H1N1 influenza of 2009. N. Engl. J. Med. 2014, 370, 1335–1342. DOI: 10.1056/NEJMra1208802
- Simonsen, L.; Spreeuwenberg, P.; Lustig, R.; Taylor, R.J.; Fleming, D.M.; Kroneman, M.; Van Kerkhove, M.D.; Mounts, A.W.; Paget, W.J.; Echenique, H.; et al. Global Mortality Estimates for the 2009 Influenza Pandemic from the GLaMOR Project: A Modeling Study. PLoS Med. 2013, 10, e1001558.
- Mamelund, S.E. 1918 pandemic morbidity: The first wave hits the poor, the second wave hits the rich. Influenza Other Respi. Viruses,2018, 12, 307–313. DOI: 10.1111/irv.12541
- Brennan, R.J.; Rimba, K. Rapid health assessment in Aceh Jaya District, Indonesia, following the December 26 tsunami. EMA – Emerg. Med. Australas.2005, 17, 341–350. DOI: 10.1111/j.1742-6723.2005.00755.x
- Chinzorig, T.; Sugiyama, K.; Aida, J.; Tsuboya, T.; Osaka, K. Are social inequalities in influenza vaccination coverage in Japan reduced by health policy? Prev. Med. Reports 2019, 16, 100959.
- Uscher-Pines L, Duggan PS, Garoon JP, Karron RA, Faden RR. Planning for an influenza pandemic: social justice and disadvantaged groups. Hastings Cent Rep. 2007;37:32–39
- Rosenfield PL. The potential of transdisciplinary research for sustaining and extending linkages between the health and social sciences. Soc Sci Med 1992; 35: 1343 – 57.