Mengenang Krakatau 1883 dari Pandangan Masyarakat Pulau Sebesi3 min read
Jakarta, Humas LIPI. 27 Agustus 2021, tepat 138 tahunmengenang letusan Gunung Krakatau. Kejadian ini mampu meninggalkan ingatan-ingatan kolektif. “Hari ini kita mengingat meletusnya Gunung Krakatau tahun 1883. Hal-hal tersebut memang harus diingat sebagai pembelajaran. Secara akademis memori kolektif itu disebut ingatan kolektif yang membentuk identitas. Kami merasa ingatan itu tidak berhenti hanya untuk dicatat, tetapi harus ditransformasikan menjadi tindakan-tindakan keseharian untuk menanggulangi risiko bencana,” tutur Herry Yogaswara, Kepala Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada webinar “Letusan Krakatau 1883: Pengetahuan Lokal dan Upaya Pengurangan Resiko Bencana di Selat Sunda” pada Jumat (27/8).
Sementara itu, Devi Riskianingrum, peneliti Pusat Penelitian Kewilayahan LIPI menceritakan bencana Gunung Krakatau dari sudut pandang Pulau Sebesi dalam materi berjudul “Krakatau dalam Pandangan Masyarakat Sebesi: Antara Berkah dan Bencana. “Pulau Sebesi adalah sebuah pulau kecil yang luasnya hanya 2.620 hektar dengan penduduk yang tinggal di dalamnya seitar 2.795 orang. Pulau ini berlokasi hanya 20 km atau 10.7 mil dari gunung Anak Krakatau. Pulau ini terimbas letusan Krakatau 1883. Tsunami akibat letusan Krakatau membuat pulau ini hancur dan menyebabkan seluruh penduduknya hilang,” jelasnya.

Menurut Devi, pasca tsunami 1883 akibat letusan Gunung Krakatau, Pulau Sebesi menjadi pulau tak berpenghungi. “Baru pada tahun 1901 masyarakat sekitar Katimbang kembali ingin bercocok tanam di pulau tersebut. Akibat pergantian kepemilikan, pulau ini menjadi tertutup bagi masyarakat sekitar. Menyikapi hal ini, masyarakat melaporkan keberatan kepada Gubernur Jendral di Batavia untuk meminta supaya pulau dibuka kembali. Sayangnya, tuntutan ini tidak berhasil karena secara resmi Pengadilan Kalianda menetapkan pulau ini sebagai Individueel bezicht recht atau hak milik pribadi pada 1906,” terangnya.
Di sisi lain, wilayah perairan bekas berdirinya Gunung Krakatau di tahun 1927 mulai menunjukkan aktivitas kegempaan dan vulkanis. “Pada 26 Januari 1928, seonggok abu dan batu solid pun mulai muncul dari permukaan laut, yaitu lapisan tipis berbentuk kurva. Geofisika asal Rusia, W.A Petroeschevsky, adalah orang yang pertama menyadari kondisi ini dan mengamatinya secara cermat dari sisi Pulau Panjang. Olehnya, dataran yang baru lahir diberi nama “Anak Krakatau”. Pulau ini mulai menunjukkan stabilitasnya pada 11 Agustus 1930 dan pertumbuhan yang semakin solid di tahun 1930 dengan mencapai luas sekitar 1 mil,” jelas Devi.
Namun dalam temuan lapangan penelitiannya, Devi mengungkapkan, Anak Krakatau merupakan berkah terselubung oleh masyarakat Sebesi, karena abu vulkanisnya memberikan kesuburan kepada tanah Sebesi dan membuat ketersediaan air di sebesi melimpah. “Aktivitas erupsi yang ditunjukkan Anak Krakatau dilihat sebagai sebuah hal biasa layaknya ‘batuk pada anak-anak’. Jika tidak ada tanda-tanda aktivitas, mereka justru risau,” ungkapnya.
“Anak Krakatau juga dianggap sebagai berkah karena aktivitas pariwisata. Tujuan utama pariwisata tersebut adalah untuk melihat Gunung Anak Krakatau yang terbukti mendatangkan keuntungan berlipat bagi masyarakat. Gunung tersebut menjadi ladang uang selain perkebunan kelapa,” sambungnya.
Di akhir paparan dirinya mengatakan, penetapan Festival Krakatau oleh pemerintah Provinsi Lampung Selatan merupakan agenda tahunan, terbukti mampu menjadi penguat perekonomian yang membantu masyarakat. “Saat festifal ini berlangsung, sekitar 1000 orang akan bermalam di Pulau Sebesi untuk mengunjungi Anak Krakatau keesokan harinya. Erupsi Anak Krakatau pun kerap menjadi daya tarik pada kegiatan pariwisata karena menjadi fenomena langka,” pungkasnya.(sf/ ed: mtr)